Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, tampak riuh pada Minggu, 22 Desember 2019. Puluhan orang berbaris rapi mengantri masuk ke dalam peron stasiun. Tak sedikit pula yang menunggu giliran membeli tiket sekali jalan dengan panduan petugas MRT.
Hari itu, kami dari Ketimbang Ngemis Jakarta, menjadi satu dari sekian banyak rombongan yang menjajal moda transportasi primadona terbaru warga Jakarta ini. Tentunya kami tidak sendiri. Ada lima orang sosok mulia atau solia yang mengaku belum pernah menjajal naik MRT.
Sepuluh lebih volunteer dan followers ikut bergabung pada hari itu. Project “Fun Day with Solia” hari tersebut mengajak kakek Badru, nenek Cimah, nenek Suyanti, kakek Adeng dan kakek Maman. Kakek Maman membawa temannya sesama penjual gulali sedangkan nenek Suyanti mengikutsertakan cucunya yang masih SD.
Sekitar pukul 13.00 WIB, kami memulai perjalanan dari stasiun Bundaran HI. Tampak ke-5 solia cukup asyik menikmati gerbong yang kami tempati membelah kegelapan ruang bawah tanah antara stasiun tersebut hingga stasiun Senayan. Raut wajah beliau semua berubah cerah setelah MRT tersebut berada di jalur melayang atau elevated usai lepas dari stasiun Senayan.
Kami rehat sebentar di stasiun Lebak Bulus. Beberapa ada yang melakukan sholat Dhuhur sedangkan yang lain menunggu. Dari ruang tunggu tersebut, beberapa dari kami menyaksikan terminal kereta MRT beserta jalur yang dipakai untuk berbagi tugas. Ada yang beristirahat, sementara yang lain bekerja mengangkut penumpang.
Perjalanan kami lanjutkan hingga stasiun Blok M dimana kami mengajak solia untuk sholat bagi yang belum, pijak refleksi dan makan. Sembari menikmati makan sore, kami mengajak solia, volunteers dan followers mengenal lebih dalam masing-masing solia.
Kakek Badru Kakek Badru, 60 tahun, kami pilih dalam project ini sebab kegigihan beliau menjual ikan hias dan pakan ikan di daerah Matraman, Jakarta Timur. Kakek tinggal mengontrak bersama sembilan orang rekan lainnya sesama penjual ikan hias yang berasal dari Sukabumi, tempat kakek Badru berasal. Kakek menyewa kontrakan seharga Rp650 ribu /bulan yang dibayar oleh 10 orang. Pendapatan kakek dari penjualan ikan hias sekitar R50 ribu per hari.
Kakek Maman sangat menginspirasi kami dengan keuletan kakek bertahan hidup di Jakarta. Di balik badannya yang mungil, kakek Maman mempunyai semangat besar menjual gulali dari jam 6 pagi hingga jam 1 atau 2 siang. Kakek berdagang keliling melewati pasar kaget Matraman, Berland, Menteng Tenggulan hingga Rawasari.
Kakek Adeng, 65 tahun, menjual cireng dengan pendapatan antara Rp20 dan Rp40 ribu per hari di sekitar stasiun Manggarai. Kakek Adeng berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Keluarga kakek semua tinggal di situ. Kakek Adeng mempunyai tiga orang anak yang kesemuanya telah berumah tangga. Di Jakarta, kakek Adeng tinggal bersama tiga orang penjual cireng lainnya. Mereka mengontrak rumah di Jalan Manggarai, RT 017/04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Berikutnya adalah nenek Cimah, 68 tahun. Beliau menjual rokok, air mineral di sebuah warung kecil di jalan Kesatrian 1, Jakarta Timur. Di situlah nenek juga mengontrak dengan sewa Rp300 ribu per bulan. Nenek meraup penghasilan tidak menentu, rata-rata Rp50 ribu per hari. Suami nenek Cimah sudah meninggal dunia. Nenek mempunyai dua orang anak, yang satu menderita stroke dan tinggal di Sumedang. Yang satunya lagi berdagang nasi di Jakarta.
Yang terakhir adalah nenek Suyanti, 67 tahun. Sehari-hari nenek mengasuh anak di daerah Matraman Dalam 2. Beliau tinggal di rumah peninggalan almarhum suaminya di sebuah ruangan petak. Nenek Suyanti mempunyai lima orang anak. Dari hasil mengasuh anak tetangga, nenek memperoleh gaji Rp800 ribu per bulan.
Usai acara ramah-tamah, kami turut menyerahkan amanah berupa uang tunai dan sembako dari donatur dan sahabat KNJ kepada masing-masing solia. Project ini adalah yang terakhir sebelum kami menutup 2019. Terima kasih banyak bagi solia, sahabat KNJ dan tentu saja rekan seperjuangan kami di komunitas ini untuk keseruan hari tersebut.
Sampai bertemu lagi tahun depan!
Editor: Eny Wulandari