Setelah melewati perjalanan yang cukup padat, akhirnya kamipun tiba di lokasi tempat biasa mangkal sang kakek, yaitu di SD 05/06/07 Petamburan, namun sayang sang kakek tidak terlihat berada di lokasi tersebut. Dengan menunjukkan foto sang kakek, kamipun mencoba bertanya pada salah seorang pedagang surabi yang ada didepan SD. Menurut pedagang surabi, kakek penjual gulali memang sering berjualan di tempat itu, namun ia berjualan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB. Sayangnya, para pedagang di lokasi, tidak satupun yang mengetahui siapa nama sang kakek dan dimana tempat tinggalnya.
Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Taman Tanah Abang 3 dengan menggunakan bantuan google map dan berhasil sampai di lokasi taman tersebut. Namun sama seperti sebelumnya, sang kakek tidak juga terlihat. Kami mencoba bertanya pada pedagang cendol yang ada di taman. Menurut penuturan sang pedagang cendol, semenjak ada larangan untuk tidak berjualan disekitaran taman, sang kakek sudah beberapa bulan tidak terlihat berjualan lagi. Pedagang cendol itupun juga tidak mengetahui nama dan dimana sang kakek tinggal.
Tanpa menyerah, kami tetap melanjutkan perjalanan kami ke lokasi terakhir dimana beliau sering mangkal untuk berjualan. Setelah melewati jalanan yang sedikit macet, kami sampai di gang Harlan, lagi-lagi kami tidak melihat sang kakek penjual gulali tersebut. Dengan menunjukkan foto sang kakek, kami mencoba untuk bertanya pada seorang pedagang rujak buah, beruntung pedagang tersebut mengenal sang kakek meskipun tidak mengetahui siapa nama kakek tersebut. Pedagang rujak buah memberitahu bahwa sang kakek tinggal di dalam Pasar Impres, dan kami diberitahu arah jalan menuju lokasi tersebut.
Dengan penuh harapan kami melanjutkan perjalanan ke lokasi dimana sang kakek tinggal. Karena petunjuk yang kurang jelas, kami sempat salah arah namun akhirnya bisa sampai di Pasar Impres. Kami langsung menunjukkan foto sang kakek pada seorang ibu-ibu penjual sayuran di pasar tersebut. Beruntung sekali ibu tersebut mengenal sang kakek dan meminta anaknya untuk mengantar kami ke kontrakan sang kakek. Saat ingin masuk kedalam pasar, kami sudah melihat sang kakek yang sedang berdiri di depan dagangan makanan matang di depan pasar, rupanya sang kakek habis membeli makanan untuk dirinya. Dengan perasaan sangat senang dan penuh semangat, kami menghampiri sang kakek, namun kami harus menelan kekecewaan karena sang kakek menolak untuk diajak ngobrol bersama kami dan beliau langsung bergegas meninggalkan kami.
Warga sekitar yang berada di pasar tersebut mengatakan jika suasana hati sang kakek sedang tidak baik, beliau memang tidak mau diajak berbicara dengan siapapun, mereka menyarankan agar kami mendatangi kontrakan beliau dan membujuk beliau pelan-pelan untuk mengobrol. Kamipun mengikuti saran dan mendatangi kontrakan beliau, namun beliau tetap tidak mau keluar untuk menemui kami. Dengan rasa sedikit kecewa kami memutuskan untuk pergi, mungkin beliau sedang capek jadi kami tidak ingin memaksanya. Karena sang kakek menolak berbicara dengan kami, akhirnya kami bertanya-tanya tentang beliau pada warga sekitar.
Kakek penjual rambut nenek tersebut bernama kakek Pian, namun warga sekitar lebih akrab memanggil beliau dengan nama Pak Bos, umur beliau sekitar lebih dari 80 tahun. Beliau berasal dari Tegal, di Jakarta beliau tinggal seorang diri di dalam Pasar Impres, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Istri dan Saudara-saudara beliau sudah lama meninggal dan beliau juga tidak memiliki seorang anak. Tinggal sebatang kara, beliau tetap semangat mencari nafkah yang halal, beliau memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan berjualan rambut nenek (gulali) di depan SD 05/06/07 Petamburan pada pagi hari, dan pada siang hari beliau berkeliling sampai ke Gang Harlan atau Jatibaru.
Beliau termasuk orang yang peduli dengan lingkungan sekitar. Beliau sering menggunakan uangnya untuk membeli semen dan menggunakannya untuk memperbaiki jalanan yang rusak disekitar pasar tersebut. Beliau juga suka memberikan dagangannya dengan cuma-cuma pada anak-anak kecil, bahkan beliau juga suka memberi uang pada orang lain walaupun tidak seberapa jumlahnya. Sungguh kami merasa terharu dan salut pada beliau, dengan keterbatasan ekonominya, beliau masih peduli dengan lingkungan sekitar dan mau berbagi dengan orang lain padahal beliau sendiri lebih membutuhkannya.
Karena waktu sudah mendekati adzan maghrib, kamipun mengakhiri obrolan kami dengan warga sekitar, dan berpamitan untuk pulang. Kami pulang dengan perasaan senang dan lega. Kami juga belajar satu hal dari kakek Pian, bahwa kekurangan ekonomi bukanlah halangan untuk kita berbuat baik dan membantu satu sama lain, dan dengan membantu orang lain tidak akan pernah merugikan kita, namun justru akan memberikan ketenangan untuk hidup kita :)[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][/vc_column][/vc_row]