Tubuhnya tidak lagi muda. Raut wajah tuanya dan rambutnya yang telah memutih pun terlihat jelas seakan semakin menegaskan ia adalah petarung kehidupan. Ya, Cecep namanya. Kakek yang satu ini telah menekuni profesinya menjadi pedagang asongan dari tahun 90-an. Ia lupa persisnya dari tahun berapa. Yang ia ingat, ia mulai berjualan asongan di Pasar Minggu pada 1998.
Awalnya, ia berdagang menggunakan gerobak. Kakek Cecep pun sempat merasakan berjualan dengan banyaknya “pesaing” yang masih muda. Namun, kakek pun tak pantang menyerah. Ia juga pernah merasakan gerobaknya disita oleh pihak yang berwenang dan mengikuti persidangan untuk gerobaknya. Untuk dapat menebus kembali gerobaknya, kakek Cecep harus membayarnya seharga Rp13 ribu.
Mungkin Rp13 ribu merupakan jumlah kecil bagi kita. Tapi pada 1998, Rp13 ribu merupakan jumlah besar bagi seorang pedagang asongan seperti kakek Cecep. Tidak hanya itu, kakek Cecep pun harus kembali membayar uang Rp5 ribu untuk menyewa mobil. Hal tersebut dilakukan karena ban gerobak kakek kempes. Setelahnya, kakek berjualan dengan menggunakan kardus seperti pedagang asongan lainnya.
Kakek Cecep hidup sebatang kara di Pasar Minggu. Sang istri telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan anak-anaknya tinggal bersama mertuanya. Ia tidak memiliki tempat tinggal. Jika malam hari, ia biasa tidur di teras BRI di Pasar Minggu dan saat siang hari, ia beristirahat di tempat yang tidak menentu.
Kakek Cecep biasa mulai berjualan dari pukul 13.00 hingga malam hari dengan penghasilan tidak menentu. Biasanya kakek Cecep mendapat penghasilan kotor Rp50 ribu/hari. Itu bukanlah penghasilan bersihnya. Setelah dikurangi uang makan, kakek Cecep memiliki penghasilan bersih sekitar Rp30 ribu.
“Yang penting masih bisa makan,” tutup kakek Cecep.
Penulis: Sabrina Alisa
Editor: Eny Wulandari