Pagi adalah waktu sibuk. Waktu dimana setiap orang bergegas dan bergerak cepat agar tidak telat ketika masuk kantor. Begitu pula yang dilakukan oleh kakek Ade. Hampir setiap pagi kakek bergegas menuju agen untuk mengambil koran yang akan dijual oleh kakek.
Kantor kakek berbeda dari kebanyakan orang. Sementara hampir banyak orang berkantor di sebuah tempat tertutup, kantor kakek berada di ruang terbuka alias jalanan. Terik dan debu sudah menjadi sahabat setia yang selalu ada di sekitar kakek. Kemacetan terkadang menjadi suatu keberkahan tersendiri untuk kakek.
Dengan begitu kakek dengan mudah menjajakan korannya kepada setiap pengendara yang melintas, baik itu pengendara roda dua, mau pun roda empat atau lebih. Namun di era yang serba maju, teknologi menjadi pesaing terberat bagi orang-orang yang seprofesi dengan kakek.
Hampir setiap berita yang dimuat di koran, tersajikan dengan mudah di sebuah alat yang sering kita sebut handphone (HP), penghasilan kakek pun menurun. Penghasilan kakek dari menjual koran itu sekitar Rp30 ribuan. Itu pun masih belum dipotong biaya lain, atau biasa kita sebut gaji kotor.
Kakek berjualan koran sudah sejak 1965an, zaman dimana teknologi belum berkembang saat itu. Sebenarnya kakek tidak hanya menjual koran saja, kakek pernah menjadi supir angkutan umum dan juga supir pribadi. Namun seiring waktu yang terus berganti, usia kakek pun semakin bertambah, dan bos kakek pun sudah tidak memerlukan jasa kakek sebagai supir pribadi. Karena itulah akhirnya kakek kembali menjajakan koran.
Kakek tinggal bersama dengan keponakan dan juga sepupunya. Kakek mempunyai tujuh anak serta 13 cucu. Karena faktor penghasilan kakek yang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, pernikahan kakek pun tidak bisa diselamatkan. Kakek harus berpisah dengan istri kakek yang sudah lama menemani beliau. Namun kisah kakek tidak berhenti di situ saja.
Dengan telah disampaikannya donasi tersebut Februari lalu, kakek mengucapkan banyak terima kasih. kakek pun mendoakan supaya rezeki para donatur ditambahkan lagi.
Editor: Eny Wulandari