Sering kita jumpai pedagang makanan atau penawar jasa yang berusia mencapai 70 tahun. Di Jakarta hal semacam itu merupakan pemandangan lumrah. Salah satu sebabnya tentu saja karena tuntutan hidup di ibu kota yang mengharuskan kita untuk tetap bergerak mencari penghasilan. Karena itu tak jarang kita melihat anak-anak, orang dewasa hingga lansia tetap gigih mencari rezeki.
Jakarta sebagai kota dengan aktivitas ekonomi yang tinggi menjadi tumpuan bagi masyarakat. Tidak saja mereka yang menjadi warga tetap Jakarta melainkan pula masyarakat dari daerah lain, khususnya kota-kota satelit. Mereka datang untuk mengadu nasib mencari rezeki bagi keluarga mereka di rumah.
Tulisan ini dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim KNJ. Tujuan utamanya adalah untuk mencari tahu informasi yang detil terkait obyek masyarakat di Jakarta. Informasi yang dimaksud adalah jenis kelamin dari solia. Khususnya untuk mengetahui seberapa banyak solia laki-laki dan perempuan serta kecenderungan yang ada. Hal ini menjadi sangat penting dalam upaya untuk memetakan persebaran obyek sasaran dari tim KNJ. Harapannya adalah untuk menjadi peta sosial dalam memberikan bantuan. Selain itu juga untuk menemukan masalah utama mereka yakni produktivitas.
Secara populatif sampel yang digunakan di sini berjumlah 135 orang dengan kisaran usia 50 tahun ke atas, baik solia laki-laki maupun perempuan yang tersebar di seluruh Jakarta. Mereka masih aktif dalam berbagai usaha baik makanan maupun jasa. Dengan penghasilan tersebut mereka bisa bertahan hidup. Dari sampel itu para solia terbagi dalam berbagai macam usaha. Klasifikasinya sebagai berikut:
1. Penjual non makanan: penjual koran, pemulung, penjual mainan, penjual kayu bakar, penjual minyak gosok, penjual papan penggilasan, penjual kanebo, penjual buku mewarnai, penjual abu gosok, penjual balon keliling, pedagang tisu, penjual kasur keliling, penjual boneka, penjual korek gas, pedagang perkakas rumah tangga, penjual kaos kaki, kantong plastik, galah/sodokan bambu, penjual tanaman hias.
2. Penjual makanan: serabi, gulali, kerupuk, serabi, snack, sayuran, kue basah, sekuteng, buah dan minuman, es kue, asinan, minuman, tahu keliling, kue putu, es mambo, air gula aren keliling, cilor (aci telor), buah, asongan, kacang Rrebus, tahu gejrot, pecel, roti, buah/rujak, lontong sayur, tauge goreng, kue lepet, kue rangi, ketupat sayur, tape, air mineral, kue basah.
3. Jasa: tambal ban, photo keliling, tukang pijat, pengatur lalu lintas, cukur rambut DPR, penjaga tempat pemakaman umum, cukur rambut keliling, ojek sepeda, service payung keliling, service kipas angin, sol sepatu, driver Go-jek, parkir, tambal panci.
Melihat berbagai macam usaha di atas, solia laki-laki lebih dominan dibanding solia perempuan dengan perbandingan 77% berbanding 23%. Baik solia laki-laki maupun perempuan itu tak seluruhnya berdomisili di Jakarta. Mereka juga ada yang datang dari kota lain. Lantas, mengapa jumlah solia laki-laki lebih besar dibanding perempuan? Laki-laki lebih memiliki kemampuan yang beragam, dari mulai jasa, penjualan makanan, maupun berjualan non makanan. Keahlian yang dimiliki, dari sisi pembagian kerja, memang lebih banyak untuk laki-laki, khususnya di sektor jasa. Selain itu secara fisik mereka juga lebih kuat dibanding perempuan dengan tingkat mobilitas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Melihat pekerjaan di atas, seperti penjual mainan, penjual kasur keliling, tukang sol sepatu dan beberapa lainnya, adalah jenis usaha yang digeluti oleh solia laki-laki. Mobilitas mereka sangat tinggi dan membutuhkan fisik. Sementara pekerjaan yang banyak digeluti solia perempuan, misalnya lebih banyak di usaha seperti penjual serabi, tahu, snack, buah dan minuman. Ini merupakan jenis usaha yang digeluti solia perempuan lebih ringan.
Di samping itu peran laki-laki dalam keluarga di Indonesia adalah sebagai kepala keluarga. Secara garis besar mereka adalah sosok yang dibebankan tanggung jawab untuk mencari rezeki. Dengan kata lain solia laki-laki juga secara kultur merupakan tulang punggung bagi keluarga. Masuk akal peran mereka terlihat dan jumlah solia laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Kalaupun perempuan bekerja itu sifatnya penyempurna atau membantu beban laki-laki.
Alasan lain yang bisa digunakan sebagai pendukung adalah corak ekonomi masyarakat perkotaan Jakarta. Memang harus diakui bahwa aktivitas ekonomi kecil menengah bergantung pada tingkat konsumen di Jakarta. Seiring berkembangnya persaingan ekonomi maka kelompok pedagang kecil menengah tidak bisa secara leluasa menjaring konsumen. Aktivitas ekonomi di Jakarta lebih banyak memberikan peluang pada usaha yang digeluti laki-laki sehingga peluang bagi ekonomi perempuan tidak terbuka lebar.
Bisa jadi karena tingkat produktivitas yang berkorelasi dengan kesehatan. Berbagai kendala fisik dan penyakit, seperti jantung, paru-paru, asam urat, kencing manis dan lain-lain banyak hinggap di tubuh perempuan sehingga menjadi kendala bagi aktivitas ekonomi mereka.
Penulis : Dewi Lathifah
Editor : Lalu Abul H. Asyari