Kedua bola mata nenek Halimatun tetap terlihat sayu dengan nada bicara terkadang terputus di tengah obrolan kami pada Minggu, 27 Februari 2017. Suasana ramai RPTRA rumah susun Petamburan di Minggu sore itu perlahan terasa sendu saat kami mengajak nenek Halimatun bercerita perjuangan beliau mencari nafkah seorang diri di usia yang melampaui 80 tahun.
Selipan guyon yang kami lakukan mendadak berhenti begitu beliau mulai berbagi cerita kesehariannya bekerja. Walau tak setetes pun air mata keluar dari matanya, kami tak kuasa mengelak rasa sedih yang turut kami rasakan membayangkan kerasnya hidup nenek memenuhi kebutuhan hidup di usia senjanya saat ini.
Nada suara nenek yang tetap lugas kali ini tak berhasil meredam rasa iba dan kasihan kepada beliau. Nenek Halimatun mulai berjualan alat-alat dapur setiap pukul 4 pagi hingga biasanya jam 11 siang di depan rusun sekitar beliau mengontrak sekarang. Beliau mengatakan terkadang dagangan beliau laris tetapi juga kadang seret.
Uang hasil penjualan banyak yang beliau pakai untuk membeli modal usaha buat berjualan di hari-hari berikutnya. Nenek Halimatun berbadan mungil dengan tekad keras baja, salah satu pejuang senja yang sangat membuat kami salut.
Suami dan anak-anak beliau telah meninggal dunia. Kini ia hanya memiliki adik yang masih hidup dan beberapa keponakan. Ia mengurus dan merawat dirinya sendiri. Dalam beberapa kali kesempatan nenek hebat ini mengungkapkan betapa ia akan kesepian jika kami tidak mengunjunginya. Walau dengan nada bercanda, kami bisa sangat memahami rasa sunyi yang ia rasakan di usia dimana orang seumuran beliau banyak menghabiskan waktu bermain dengan cucu kesayangan.
Setali tiga uang dengan nenek Halimatun, kakek Momon, 76 tahun, membuat rasa haru kami begitu mendalam sebab sikapnya yang terlihat lepas dan santai. Di balik ungkapan terima kasih dan doa baik untuk kami diselingi guyon, kami justu merasa trenyuh yang sangat melekat. Kakek penerima donasi edisi September 2016 ini kami temui usai berjualan kaos kaki, sapu tangan, dan lainnya di Jalan Kembang 4, Kwitang, Jakarta Pusat.
Kakek super ramah ini termasuk solia yang tak segan banyak bercerita mengenai hidupnya. Ia tidak mempunyai rumah. Terkadang kakek ini tidur di masjid Cut Nyak Dien atau di depan Indomaret dekat stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat.
Lama berpisah dengan istri, pernah kecopetan dan tak lagi sanggup membayar uang sewa kontrakan membuat rona wajah kakek Momon malah terlihat menjalani hidup tanpa beban. Ia berbagi cerita secara ringan dengan kami, hal yang di satu sisi membuat kami kagum tetapi juga sedih tiada terperi.
Nenek Halimatun dan kakek Momon hanya dua dari sekian banyak solia yang membuat kami merasa campur aduk, salut sekaligus terpukul. Ada yang bisa terlihat tenang seperti nenek Halimatun dan kakek Momon tetapi ada pula yang meneteskan airmata begitu mengetahui menerima bantuan dari orang yang tidak mereka kenal.
Walau sudah akrab dengan hal seperti ini tetap saja kami merasa pilu sebab setiap solia yang kami temui mempunyai cerita yang berbeda. Jika sanggup kami akan justru mengajak solia tertawa atau setidaknya menghibur mereka tetapi jika tidak, kami berusaha untuk diam dan meresapi cerita hidup mereka. Lalu masing-masing dari kami pulang dengan membawa segudang kisah menyentuh dan hati yang semoga bersyukur.
Editor: Eny Wulandari