“Malu. . . .“ jawab kakek Ramli ketika kami menanyakan mengapa beliau tidak mengemis saja, tanpa perlu capek-capek berjualan. Pertanyaan iseng kami beliau jawab secara singkat dan tegas. Kami salut pada beliau. Rasa malu yang ada di dalam hati kakek Ramli menunjukkan bahwa beliau tidak lepas dari fitrahnya sebagai manusia, yakni memiliki rasa malu.
Rasa malu juga merupakan cabang dari keimanan. Rasa malu adalah simbol manusiawi yang berfungsi melindungi manusia dari perbuatan non-manusiawi (hewani). Sebab itulah rasa malu dikatakan sebagai cabang dari keimanan. Malu yang pada tempatnya adalah malu yang terpuji, yang menggiring seorang kepada meninggalkan keburukan (di antara keburukan lainnya adalah mengemis). Semua itu kami dapati dari sosok kakek Ramli.
Kakek Ramli, sang pemelihara diri dari meminta-minta. Usia beliau 72 tahun, usia yang tak lagi muda, tenaga mulai melemah, gangguan fisik tak jarang menyerangnya, di antaranya penyakit asam urat yang telah lama beliau derita. Pun demikian, tidak sedikitpun menjadi penghalang bagi kakek Ramli berdagang sepatu untuk mencari nafkah demi bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Sepatu-sepatu yang beliau jual adalah sepatu reject dari toko yang beliau beli secara borongan. Beliau biasa berjualan di bawah fly over Klender, tidak jauh dari kontrakan beliau yang berada di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Setiap harinya kakek Ramli berjualan dari jam 4 sore sampai 11 malam. Adapun untuk mengangkat sepatu-sepatu yang akan dijual dan saat akan dibawa pulang beliau dibantu oleh anaknya yang belum memiliki pekerjaan tetap.
Sedangkan modal untuk berdagang sepatu ini beliau dapatkan dari anak beliau yang lain, yang sudah menikah dan tinggal di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Dalam kondisi ramai, maksimal hanya tiga pasang sepatu yang terjual setiap harinya dimana harga setiap pasang sepatunya Rp25 ribu. Sedangkan setiap bulan beliau secara rutin harus mengelurkan uang Rp250 ribu untuk membayar kontrakan satu kamar yang beliau tinggali.
Kakek Ramli adalah satu di antara sosok mulia yang telah kami temui. Beliau merupakan figur yang meski telah senja tetap berusaha dan mencari nafkah, apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik dan tidak dengan meminta-minta. Kemudian setelah itu mereka makan dari nafkah yang didapatkan, baik sedikit maupun banyak. Sungguh sesuatu yang mereka dapat itu lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain. Semoga kakek Ramli senantiasa diliputi keberkahan dalam hidupnya. Aamiiiin.
Editor: Eny Wulandari